Senin, 23 November 2015

MAGIC MINUTE Chapter III ''S.H.M.I.L.Y''

Chapter III
S.H.M.I.L.Y



‘’Asik deh yang mau wisuda’’
‘’Tapi belum move on juga tuh’’
‘’Taik! Bertahan sampe 7 tahun lebih, stuck di orang yang sama, gak variatif banget hidupmu haha’’
‘’Bisa diem gak kalian?’’

Itulah pernyataan membabi buta yang terkesan menghina dan terkadang cenderung nampar. Kita berempat sedang duduk santai di angkringan dekat kampus negeri. Tempat salah satu temanku menempuh kuliah, dan sialnya dia sudah wisuda duluan. Mereka merupakan sohib terlama yang sudah menemani  dalam suka dan kebanyakan duka selama hampir  11 tahun, sejak kita masih ingusan  pakai seragam putih biru.

Ucapan mereka seperti menari-nari di depan wajah yang mampu menampar dalam sudut kenangan kelam 2 tahun lalu. Saat aku percaya diri untuk memberikan lukisan wajahnya sebagai ungkapan perasaan, saat pertemuan antah berantah yang membuatku bimbang ingin menangis atau tertawa dan saat semua perasaan tidak pernah terbalas. Aku mengingat pesan terakhir yang aku kirimkan padanya, yang masih tertata rapi di ponsel usangku itu.

‘’He?’’
‘’Iya’’
‘’Cuma mau ngucapin selamat hari kemerdekaan RI yang ke-70’’
‘’-_- bisa nggak kasih selamat yang lain, kayak dapat hadiah misal’’
‘’Yaudah, selamat kamu dapat hadiah’’
‘’Mana hadiahnya?’’
‘’Hadiahnya, coba deh kamu keluar rumah terus liat langit. Di situ ada beberapa bintang, kamu boleh ambil satu’’

Sudah berjam-jam pesan itu tidak terbalas, mungkin dia sudah langganan kehabisan pulsa atau memang dia tidak minat untuk membalas karena tidak ada hal penting lagi untuk dibicarakan meski sekedar becandaan seperti biasanya. Lalu aku mengirim pesan lagi.

‘’Kalo aku cinta sama kamu gimana?’’ tanganku gemetar untuk mengirim pesan hina itu dengan mengklik tombol keramat ‘’send’’. Jantung berkontraksi, sekaligus membodohi diri sendiri. Beberapa detik kemudian aku menyunggingkan senyuman geli ‘’message failed’’. Bitch! Sudah kuduga pulsa habis haha.

Pada akhirnya pesan menggelikan itu dibiarkan olehnya, mungkin dia muak. Sampai 2 tahun berjalan pesan itupun tidak pernah ada balasan meski satu aksara. Aku dan dia terpisah tanpa selamat tinggal atau basa-basi romansa seperti orang-orang yang menjalin hubungan, karena memang aku dan dia tidak pernah ada ikatan. Dia sadar aku bukanlah pilihan terbaiknya dan aku juga menyadari bahwa memang menyakitkan saat perasaan yang meluap tidak pernah terbalas meski diketahui bahkan cenderung terabaikan. Lali, akupun memilih untuk menghilang tanpa ingin tahu lagi kabar manusia sinting itu.

Pertemuan bersama tiga temanku cukup mengasyikan, kami berbincang banyak tentang cerita masing-masing pihak yang cukup membuat kontraksi perut meningkat dengan tambahan hormon dophamin yang meluap. Namun saat itu pikiran entah menghilang kemana, ada seseorang di ujung sana yang sedang memungutnya. Aku memutuskan untuk pulang lebih dulu, sekitar pukul 22.00 Waktu Indonesa Baper, aku mampir ke salah satu mini market yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Tempat di mana  aku dan dia pernah berdiri di lantai yang sama dalam satu atap. Aku membeli Root Beer lalu duduk di salah satu bangku, menikmati malam yang semakin memanggil kenangan di masa dulu. Tentang dua orang autis sedang berdiri saling bertukar gulungan keramat. Aku tersenyum memikirkan kekonyolan itu, lalu tiba-tiba dada seperti tersengat sesuatu bermuatan listrik yang mengakibatkan perut mual, ternyata ingatan kembali melintas batas kesadaran kepada masa saat aku ingin mengungkapkan perasaan, yang berujung pada hal memalukan. Matakupun berkaca-kaca, entah kenapa mual semakin terasa saat pikiran kembali sadar bahwa ia yang sepertinya masih di bumi, lupa akan hal-hal biasa yang sudah terjadi antara kami berdua. Aku dan dia menginjak tanah yang sama namun saling lupa untuk bertukar kabar ataupun saling sapa dalam pesan.

Aku membuka sosial media dan menstalking akunnya, bersih dan terawat. Sepertinya dia sangat menyayangi akunnya itu, setiap hari disapu dan dipel dengan pengharum beranda, hmmm. Ketik aku melihat satu foto dengan jumlah 28 like aku hanya bisa diam sambil meneguk root beer dengan ganas, karbon-karbon yang terkandung dalam minuman itu semakin memanaskan suhu tubuh. Lalu aku memilih untuk pulang, dan masih tetap terdiam sepanjang perjalanan pulang.

Kadang pilihan terbaik saat sesak tidak bisa diluapkan hanyalah diam. Berbaring di kasur sambil memandang palet langit atap dengan kesunyian tanpa gema di sudut-sudut ruang. Aku beranjak dari kasur dan menemukan Bapak sedang asyik nonton tivi dangdut kesayangannya. Aku duduk disebelahnya. Terdiam. Cukup lama. Bapak juga diam sambil sesekali tertawa karena banyak adegan konyol dari aktor ga lucu itu.

‘’Pak?’’ sahutku dengan sedikit nada kelu, ada sesuatu yang nyangkut di tenggorokan.
‘’Kok baru pulang, ngapain aja, pergi sama siapa aja kamu?’’ Cecer bapak yang udah menjadi pertanyaan rutinitas. Aku hanya diam. Bapak masih sibuk dengerin banyolan artis-artis gak lucu itu.
‘’Pak’’ ucapku lirih, ngilu di sekitar tenggorokan bereklifase menuju ke sela-sela muka. Rasanya masih sama, dari dulu bawang merah masih terasa pedih di mata.
‘’Pak..’’ ada jeda ‘’kok gak ada yang cinta sama wiwin ya?’’ ucapku sedikit sesenggukan, entah sadar atau tidak itulah pernyataan argumentatif mengilukan yang berhasil keluar dari persembunyian, seolah-olah itu benar dan tidak lagi ingin dibungkam. Rasanya lega, mengetahui realita, bahwa dia di ujung sana, sama sekali tidak pernah cinta, meski sedikit, sedikit saja.
‘’Seseorang gak bisa memilih kepada siapa ia harus jatuh cinta. Kamu juga tidak harus memaksa sesuatu yang gak bisa kamu kendalikan’’ itulah fatwa bapak yang begitu mujarab, dan saat itu pula aku sadar, kesedihan karena jatuh cinta sendirian itu sia-sia. Dan sialnya aku menikmati kesia-siaan itu.

Hari ini tiba juga. Aku duduk di kursi dengan hidangan kue di tangan yang enggan aku santap, meski harumnya memanggil-manggil. Aku mengamati sejenak, ada ruang keikhlasan yang berhasil aku tembus untuk menempatkan dia dan wanitanya bersanding di pelaminan. Aku sadar itulah takdir yang Tuhan kendalikan. Bahwa, aku bukanlah pilihan utama. Bahkan, untuk sekedar alternatif pun hanya metafora. Aku bukanlah apa-apa. Aku dan dia hanyalah konsep gagal yang Tuhan selundupkan untuk sekedar mencicipi kenangan.

‘’Makasih win, udah mau datang’’
‘’Kamu juga harus dateng saat wisudaku nanti ya haha’’

Tanganku dan dia bersalaman, tidak cukup lama. ‘’Dan inilah puncak mencintai seseorang, saat kamu mampu merelakan dia menikah dengan wanita lain yang lebih baik dari kamu’’. Wanita itu memiliki segalanya yang tidak bisa aku berikan ‘’Cinta yang nyata’’ karena selama ini aku sadar, aku hanya pecundang yang mencintainya hanya sebatas narasi platonik sampah, tanpa mampu terucap. Wanita itu yang pantas! Meski aku juga pantas, tapi bagi dia tidak.

Aku duduk di sebelah salah satu temanku yang aku ajak ke pernikahannya, teman priaku yang menemaniku selama di Jogja. Kita seperti dua orang kaku yang duduk dengan begonya melihat dua pasang bahagia. Dia dengan lahap memakan kue coklat yang bagiku tidak enak. Aku beberapakali gelesotan di kursi, ada sesuatu yang.. ah!

‘’He!’’ Teriaku. Beberapa orang melirik heran, temanku mengamini.
Dia yang sedang duduk bersama wanitanya. Memandangku juga. Sedikit heran mungkin, melihat wanita sinting teriak di kerumunan. Aku abaikan mereka, seolah mereka mendoan yang mengambang di penggorengan.

‘’Dengan segenap kemunafikan, aku bahagia melihat kamu menikah sekarang. Meski bukan aku yang berdiri di sana’’ aku berkata-kata tanpa malu. Semua orang memandang dengan geli, sebagian takjub. Temanku masih duduk santai, sudah terbiasa dengan kesintinganku.
‘’Kamu tahu ini mas?’’ aku mengambil gelas berisi es teh, lalu kumasukan gula. Dan kuaduk dengan ganas. Kubiarkan gula itu larut. Dan kutumpahkan ke lantai.
‘’Ini lukaku mas!’’ aku meletakan gelas kosong itu ke salah satu meja yang berada di dekatku dan kutarik tangan temanku yang entah bagaimana dari tadi dia masih asik makan kue cokelat tanpa henti.

Dan pada akhirnya aku berhasil mempermalukan diri sendiri dipernikahan seseorang yang.. entah sulit sekali meneruskan kalimat biadab itu. Dulu, aku mencintaimu secara kekanak-kanakan tapi kali ini aku hanya bisa mencintaimu secara ugal-ugalan. Aku tidak pernah mencintaimu secara pantas. 

Aku terduduk di pinggir jalan. Enggak nangis, meski ingin. Temenku berdiri di sebelahku, masih melahap kue cokelatnya. Brengsek sekali orang ini!

Dia tiba-tiba ada. Dibelakangku. Baru kali ini aku menjadi pihak yang dikejar. Entah dalam scene ini aku harus bahagia atau menangis.

‘’Aku mau mengembalikan ini’’ dia menyerahkan gulungan putih, yang aku tahu ada lukisan wajahnya yang pernah aku kasih dulu, yang katanya di pajang di kamarnya.
Aku terdiam.
‘’Ini’’ dia menyodorkan gulungan keramat itu ke arahku. Dan aku menerimanya.
‘’Kamu bisa miliki ini, enggak harus aku’’
Aku tersenyum entah kenapa. Senyum ikhlas atau senyum palsu yang sewajarnya. Entahlah.. senyum aja pokoknya. Gini nih senyumnya. Lihat ga?
Aku membuka gulungan keramat itu dan menunjukan sebuah tulisan yang terukir kecil di ujung kanan.
‘’S.H.M.I.LY’’
‘’Apa artinya?’’
‘’Udah gak perlu sekarang’’

Dari jauh aku melihat wanitanya berlari ke arah kami. Aku deg-degan. Dan benar saja saat mendekat, dia sedang membawa sebotol air mineral ukuran 1 liter. Aku gak lagi haus waktu itu. Tapi.. sudah bisa ketebak kan apa yang bakal terjadi?

‘’Tadi kamu lari-lari mas, jadi aku bawakan minum. Aku gak mau kamu haus’’

Taik! Ini adegan serius kenapa dibecandain.

Dan Byuuuuurrrrrrr! Ada air entah darimana membasahi mukaku. Bukan air dari botol wanita itu. Apalagi air dari mataku… Hmm. Aku membuka mata dan melihat beberapa teman sedang berdiri di kasurku seolah-olah sedang merubungi mayat.

‘’Happy born day Jomblo formalin!’’

Bangke! Sialan kalian semua. Aku melihat tanggal yang menempel di tembok kamar, tanggal 28 awal tahun. Saat itu pula aku sadar. Aku masih duduk di semester 4.


Nantikan chapter 4 yak hihi. Bye!!!


TO BE CONTINUE

1 komentar: