Selasa, 18 Agustus 2015

MAGIC MINUTE Chapter I ''Menit di Ujung Senja''

Sebuah Cerpen 

MAGIC MINUTE



Chapter I
‘’Menit di Ujung Senja’’


Aku menendang-nendang kakiku karena gugup. Feromon mengalir deras dalam neurotransmitter yang melesat cepat bagai meteor yang berhasil menembus ozon. Degup jantung tak hentinya memanggil suhu panas dalam tubuh yang semakin membuatku tak bisa berfikir apapun kecuali, menunggunya dengan gaya santai. Gugup itu terhenti seketika, saat mata bulat itu muncul dan aku hanya menampilkan muka datar untuk menyambutnya.
‘’Hai!’’ Ucapnya dengan senyuman sembari melambaikan tangan kirinya, aku juga melihat tangan kanannya memegang plastik yang berisi jajanan.
Kini, di menit-menit menjelang senja aku dan dia berdiri di sebuah mini market. Perasaanku sudah mulai stabil ketika tangan kita berjabat untuk pembukaan salam. Dia terlalu banyak senyum, dan sayangnya itu indah. Aku juga menampilkan beberapa senyuman yang entah itu indah atau menggelikan baginya, aku tidak ingin memikirkan. Dari dulu, dia memang sudah imut sejak dalam pikiran.
‘’Kamu  gak beli jajan?’’
Aku hanya geleng kepala, sebagai tanda tidak ingin membeli apapun atau hanya sekedar untuk melemaskan otot-otot leher.
‘’Eh nih…’’ dengan santainya dia memberikan sesuatu berwarna hijau, bukan daun, apalagi duit 20 ribuan, dan yang aku tahu itu nori ‘’rumput laut’’ tapi seperti biasa, saking rendah hatinya aku berpura-pura tidak tahu.
‘’Itu apa?’’
‘’Udah makan aja. Langsung dimakan kalo enak, kalo gak doyan ya buang aja’’
‘’Oooh’’ aku menerima nori itu dan segera memasukan ke dalam tas.
Lalu, dia memberikan kantong plastik berwarna hitam yang berisi DVD. Dia memang sudah berjanji untuk memberiku film yang menurutnya harus kutonton karena banyak pelajaran dan kata-kata indah, dengan syarat aku harus serius untuk menontonnya. Setelah itu aku mengeluarkan gulungan kertas berwarna putih. Ragu saat itu, antara ingin memberikan atau harus aku simpan selamanya. Dan saat melihat matanya untuk beberapa kali akhirnya aku yakin, itu memang harus diberikan.
‘’Eh ini’’
‘’Apa nih?’’
‘’Eh itu…’’ beberapa detik aku kehilangan kontrol karena bingung untuk menjawab apa ‘’kan kamu ngasih DVD jadi aku ngasih ini, biar impas’’
Dari pertemuan ini memang tidak ada kata-kata indah atau adegan romantis seperti di FTV, hanya obrolan ini itu yang biasa saja. Dia mungkin dengan senang hati menerimanya, atau kalau boleh menebak, mungkin dia juga penasaran itu isinya apa, yang jelas itu bukan nori ‘’rumput laut’’. Ya, meski sama-sama digulung. Gelagatnya menunjukan dia akan membuka gulungan pemberianku itu. Eh, jangaaaan!!! Biarkan itu menjadi rahasia alam.
‘’Eh jangan dibuka di sini!’’
‘’Lah kenapa?’’
‘’Yaudah lah gajadi ngasih’’ dengan rada gugup aku hendak mengambil lagi gulungan ‘’keramat’’ itu.
‘’Yaudah… yaudah oke’’
Aku yakin dia penasaran apa isinya, tapi dia cukup gagah untuk menahan membuka di tempat. Gulungan keramat itu ia masukan ke kantong jaketnya yang berwarna kuning tua yang cenderung ke-orange-orange-an. Menit-menit pertama kita isi dengan obrolan ini itu yang tidak penting. Lalu ada sedikit penting, ketika ia membahas tentang masa kuliahnya dulu, menyinggung tentang fisika material. Sebagai mantan siswa jurusan IPA saat SMA, seenggaknya aku sedikit ngerti apa yang dia omongin. Ya, meski gak ngerti-ngerti banget. Tapi ngerti lah... dikit.
Aku tidak bercerita banyak, hanya membahas sedikit masa lalu tentang kegagalan. Dan dia mengerti ‘’Nggak apa-apa yang penting kamu udah dapat apa yang kamu butuhkan’’  Itulah kata-katanya yang lebih mudah dicerna dibanding obrolannya tentang fisika dan magnet-magnet. Aku hanya tersenyum, dia juga banyak senyum. Entah karena dia memang ramah orangnya atau memang sudah sejak dalam pikiran dia mudah senyum. ‘’Kamu jangan terlalu banyak senyum, nanti banyak yang suka. Aku cemburu soalnya’’ Ucapku dalam hati dan untungnya dia tidak mendengar. Kita akhirnya berpisah ketika senja sudah tidak menampakan apa-apa, hanya sepuluh menit waktu berjalan. Tapi, terasa sangat lama dan aku tidak ingin beranjak. Menit berharga yang merubah segalanya.
Darah mengalir sangat cepat setelah pertemuan singkat itu, sepanjang perjalan menuju rumah aku hanya senyum-senyum seperti orang gila yang susah kembali waras. Aku menyimpan ‘’nori’’ pemberiannya itu ke dalam lemari. Sampai kapanpun aku tidak akan berniat untuk memakannya, bahkan untuk sekedar memikirkannya.
‘’Gak nyangka itu gambar lukisan wajahku, aku kira gambar setan. Sempat hampir syok tadi. Haha keren, makasih banyak ya. Nanti mau aku pajang di kamar :D’’
Aku tersenyum-senyum geli ketika mendapat pesan darinya muncul di layar. Aku tidak bilang padanya kalau lukisan itu sudah dibuat sejak lama dan sebagai ungkapan perasaan. Dia pernah bilang ‘’Mengungkapkan perasaan tidak harus bicara. Boleh saja kamu memberikan sesuatu sebagai luapan perasaan. Tidak salah kalau wanita mengungkapkan, jadilah sekali-kali wanita yang berbeda. Buatlah kisahmu sendiri’’

Kita masih seperti biasa saling berkirim pesan dengan sedikit banyolan. Tak ada yang berubah. Dan untungnya dia tidak menyinggung sedikitpun tentang alasanku memberi lukisan itu ataupun curiga kalau-kalau aku ada perasaan, atau mungkin dia menutup  mata dan berpura-pura. Entahah, biarlah seperti ini, selalu seperti ini. Aku hanya ingin menikmati saat-saat ini. Dimana kamu ada, dan aku bisa merasakannya.

To Be Continue~

0 komentar:

Posting Komentar