Sebuah Cerpen
MAGIC MINUTE
Chapter I
‘’Menit di Ujung Senja’’
Aku
menendang-nendang kakiku karena gugup. Feromon mengalir deras dalam
neurotransmitter yang melesat cepat bagai meteor yang berhasil menembus ozon.
Degup jantung tak hentinya memanggil suhu panas dalam tubuh yang semakin
membuatku tak bisa berfikir apapun kecuali, menunggunya dengan gaya santai.
Gugup itu terhenti seketika, saat mata bulat itu muncul dan aku hanya
menampilkan muka datar untuk menyambutnya.
‘’Hai!’’
Ucapnya dengan senyuman sembari melambaikan tangan kirinya, aku juga melihat
tangan kanannya memegang plastik yang berisi jajanan.
Kini,
di menit-menit menjelang senja aku dan dia berdiri di sebuah mini market.
Perasaanku sudah mulai stabil ketika tangan kita berjabat untuk pembukaan
salam. Dia terlalu banyak senyum, dan sayangnya itu indah. Aku juga menampilkan
beberapa senyuman yang entah itu indah atau menggelikan baginya, aku tidak
ingin memikirkan. Dari dulu, dia memang sudah imut sejak dalam pikiran.
‘’Kamu gak beli jajan?’’
Aku
hanya geleng kepala, sebagai tanda tidak ingin membeli apapun atau hanya
sekedar untuk melemaskan otot-otot leher.
‘’Eh
nih…’’ dengan santainya dia memberikan sesuatu berwarna hijau, bukan daun,
apalagi duit 20 ribuan, dan yang aku tahu itu nori ‘’rumput laut’’ tapi seperti
biasa, saking rendah hatinya aku berpura-pura tidak tahu.
‘’Itu
apa?’’
‘’Udah
makan aja. Langsung dimakan kalo enak, kalo gak doyan ya buang aja’’
‘’Oooh’’
aku menerima nori itu dan segera memasukan ke dalam tas.
Lalu,
dia memberikan kantong plastik berwarna hitam yang berisi DVD. Dia memang sudah
berjanji untuk memberiku film yang menurutnya harus kutonton karena banyak
pelajaran dan kata-kata indah, dengan syarat aku harus serius untuk
menontonnya. Setelah itu aku mengeluarkan gulungan kertas berwarna putih. Ragu
saat itu, antara ingin memberikan atau harus aku simpan selamanya. Dan saat
melihat matanya untuk beberapa kali akhirnya aku yakin, itu memang harus
diberikan.
‘’Eh
ini’’
‘’Apa
nih?’’
‘’Eh
itu…’’ beberapa detik aku kehilangan kontrol karena bingung untuk menjawab apa
‘’kan kamu ngasih DVD jadi aku ngasih ini, biar impas’’
Dari
pertemuan ini memang tidak ada kata-kata indah atau adegan romantis seperti di
FTV, hanya obrolan ini itu yang biasa saja. Dia mungkin dengan senang hati
menerimanya, atau kalau boleh menebak, mungkin dia juga penasaran itu isinya
apa, yang jelas itu bukan nori ‘’rumput laut’’. Ya, meski sama-sama digulung.
Gelagatnya menunjukan dia akan membuka gulungan pemberianku itu. Eh, jangaaaan!!!
Biarkan itu menjadi rahasia alam.
‘’Eh
jangan dibuka di sini!’’
‘’Lah
kenapa?’’
‘’Yaudah
lah gajadi ngasih’’ dengan rada gugup aku hendak mengambil lagi gulungan ‘’keramat’’ itu.
‘’Yaudah…
yaudah oke’’
Aku
yakin dia penasaran apa isinya, tapi dia cukup gagah untuk menahan membuka di tempat.
Gulungan keramat itu ia masukan ke
kantong jaketnya yang berwarna kuning tua yang cenderung ke-orange-orange-an. Menit-menit
pertama kita isi dengan obrolan ini itu yang tidak penting. Lalu ada sedikit
penting, ketika ia membahas tentang masa kuliahnya dulu, menyinggung tentang
fisika material. Sebagai mantan siswa jurusan IPA saat SMA, seenggaknya aku
sedikit ngerti apa yang dia omongin. Ya, meski gak ngerti-ngerti banget. Tapi
ngerti lah... dikit.
Aku
tidak bercerita banyak, hanya membahas sedikit masa lalu tentang kegagalan. Dan
dia mengerti ‘’Nggak apa-apa yang penting kamu udah dapat apa yang kamu
butuhkan’’ Itulah kata-katanya yang
lebih mudah dicerna dibanding obrolannya tentang fisika dan magnet-magnet. Aku
hanya tersenyum, dia juga banyak senyum. Entah karena dia memang ramah orangnya
atau memang sudah sejak dalam pikiran dia mudah senyum. ‘’Kamu jangan terlalu
banyak senyum, nanti banyak yang suka. Aku cemburu soalnya’’ Ucapku dalam hati
dan untungnya dia tidak mendengar. Kita akhirnya berpisah ketika senja sudah
tidak menampakan apa-apa, hanya sepuluh menit waktu berjalan. Tapi, terasa
sangat lama dan aku tidak ingin beranjak. Menit berharga yang merubah
segalanya.
Darah
mengalir sangat cepat setelah pertemuan singkat itu, sepanjang perjalan menuju
rumah aku hanya senyum-senyum seperti orang gila yang susah kembali waras. Aku
menyimpan ‘’nori’’ pemberiannya itu ke dalam lemari. Sampai kapanpun aku tidak
akan berniat untuk memakannya, bahkan untuk sekedar memikirkannya.
‘’Gak
nyangka itu gambar lukisan wajahku, aku kira gambar setan. Sempat hampir syok
tadi. Haha keren, makasih banyak ya. Nanti mau aku pajang di kamar :D’’
Aku
tersenyum-senyum geli ketika mendapat pesan darinya muncul di layar. Aku tidak
bilang padanya kalau lukisan itu sudah dibuat sejak lama dan sebagai ungkapan
perasaan. Dia pernah bilang ‘’Mengungkapkan
perasaan tidak harus bicara. Boleh saja kamu memberikan sesuatu sebagai luapan
perasaan. Tidak salah kalau wanita mengungkapkan, jadilah sekali-kali wanita
yang berbeda. Buatlah kisahmu sendiri’’
Kita
masih seperti biasa saling berkirim pesan dengan sedikit banyolan. Tak ada yang
berubah. Dan untungnya dia tidak menyinggung sedikitpun tentang alasanku
memberi lukisan itu ataupun curiga kalau-kalau aku ada perasaan, atau mungkin
dia menutup mata dan berpura-pura.
Entahah, biarlah seperti ini, selalu seperti ini. Aku hanya ingin menikmati
saat-saat ini. Dimana kamu ada, dan aku bisa merasakannya.
To Be Continue~
0 komentar:
Posting Komentar