Minggu, 12 Februari 2017

CERBUNG: TUHAN TIDAK BERMAIN DENGAN DADU

Ke mana Aku Setelah Mati?

Sisifus itu,

Apa dia… 

Bahagia?

       Aku biasa menulis sesuatu di selembar kertas lalu kukirim melalui tempat sampah. Isinya berupa caci maki, keluh-kesah seputar kehidupan yang aku tujukan kepada Tuhan. Kali ini ada sedikit berbeda di suratku itu, aku menulisnya dengan sedikit rapi dengan tuturan melankolis, mungkin dengan kelembutan, kali ini Tuhan mau menerimanya.

     Aku bertanya baik-baik, apa yang telah dipikirkan saat menciptakanku, atau aku ini hanya Sisifus yang Camus ceritakan itu? Betapa aku lelah sampai ke tulang menjadi “Aku”. Kau tahu, kan? Cerita tentang Sisifus yang licik itu, yang dihukum oleh Dewa untuk melakukan tugas sia-sia secara abadi, mendorong batu ke puncak yang pada akhirnya akan menggelinding lagi ke bawah. Begitukah esensi hidup? Untuk menjalani kesia-siaan, menjalani roda kehidupan yang berputar seenaknya. Ah logika manusia kadang memang sedikit cacat saat mengalami derita, tapi itu juga hasil konstruksimu kan, Tuhan? Bahwa manusia dirancang untuk menderita, untuk terluka? Ah maaf aku lancang, sudah menggunakan banyak kalimat tanya.

        Aku mengambil tas ranselku mengepak beberapa barang. Apa yang akan aku lakukan? Entahlah aku hanya ingin lari dari semua orang. Aku lelah dengan mereka. Aku malas. Hatiku malas. 


     Jalanan aspal begitu busuk, banyak lubang yang membuatku melompat saat melewatinya. Angin juga entah mengapa lagi kencang-kencangnya menyapa. Aku duduk di halte, menunggu bis tanpa pikiran apa-apa. Aku hanya ingin mengosongkan pikiran sejenak dari omong kosong dunia. Tidak menunggu lama bis berhenti di depanku, aku langsung masuk, tidak tahu itu akan menuju ke mana. Haha.. persetan!

         Aku duduk dengan tenang memandangi pepohonan lewat kaca buram. Masih pagi sehingga suasana belum terlalu pengap. Seorang bapak di sebelahku memandang, tersenyum dia, lalu akupun melakukan hal yang sama. Dia membawa beberapa kresek berisi sayuran dan kacang. Aku pandangi mukanya, lalu kulontarkan sapaan basa-basi untuk mencairkan suasana karena dia duduk di sebelahku.

           Lalu akupun bertanya, “Belanjaannya banyak sekali, Pak?”

       Dengan bermodal pertanyaan singkat, Bapak itupun bercerita panjang lebar. Ternyata ia penjual gado-gado dan lotek keliling di kampungnya. Ia habiskan hidupnya dari pagi hingga sore hanya untuk mengulek bumbu kacang.

“Saat malam aku tertidur, di mimpipun aku habiskan untuk ngulek bumbu kacang, hidupku hanya untuk itu, ya?”

         Lalu bapak itu tertawa, ada sedikit kebahagiaan di sana. Aku tidak mengerti mengapa dalam menjalankan kesia-siaannya itu, ia masih bisa tertawa? 

         Dari situ aku lega, ada sisifus lain di dunia ini selain aku. Namun, ada satu hal yang belum aku temukan, “kebahagiaan dalam menjalankan kesia-siaan itu”.

         Bis masih melaju, bapak itu sudah turun sejak 30 menit yang lalu. Ia berpesan satu hal kepadaku sebelum ia turun “hiduplah!”

Apa aku terlihat mati di matanya?


        Aku mulai lelah, kepalaku menunjukan gejala mabuk darat yang membuatku mual. Aku memegang pintu bis, teriak dengan parau, “Kiri pak!” Bis pun berhenti, aku sedikit loncat saat turun menghindari lubang genangan air. Aku segera lari menuju ke semak-semak dan muntah di sana, rasanya menyiksa.

       Sambil berjalan aku menegak satu botol air mineral untuk menetralkan tenggorokan yang asam. Aku tidak tahu tempat ini, tak satupun benda-benda di sini familiar di mataku. Aku terus berjalan melewati gang, ada beberapa rumah, ada beberapa orang berlalu lalang, beberapa tersenyum kepadaku saat aku lewat. Aku hanya mengangguk pelan, aku sedang untuk melakukan hal yang sama.

          Aku terus berjalan, udaranya masih terasa segara meski matahari tepat berada di atas kepala. Aku menghirup oksigen pelan, ada yang ingin aku teriakan, tapi hanya hembusan karbondioksida yang keluar. Di ujung jelan aku menemukan pohon yang hampir mati, aku keluarkan botol air mineral, kusiramkan ke daun-daunnya, kubisikan kata-kata “Hiduplah!”


          Jadi ini akhir dari perjalananku, terhampar luas. Untuk sesaat mataku mengalami orgasme secara misterius. Aku memandanginya, pantai itu, lama. Hingga mataku perih bergesekan dengan udara. Aku bertanya.. terus bertanya. Apakah pantai itu, ada ujungnya?

          Aku mengendorkan saraf kaki dengan duduk di bawah pohon, 100 meter di depanku, terhampar pantai yang ingin kujamah sejak pertama kali melihatnya. Aku merasakan angin laut. Mendengar jeritan ombak. Aku tahu dia juga sisifus sama sepertiku. Entah dosa apa yang telah dia lakukan hingga terlahir sebagai ombak. 

“Kamu bosan?” tanyaku kepada ombak, ia hanya menjawab dengan deruan yang menyejukan telinga.

“Tidakkah kamu lelah, setiap hari melakukan hal repetitif yang sia-sia?” dia tidak menjawab, justru  mengeluarkan deruan yang semakin kencang.

“Kenapa kamu terus mengeluarkan bunyi deruan, kenapa kamu tidak bisa berkata-kata? Aku sedang mengajakmu berbicara!”

         Aku berteriak, sangat kencang melebihi amukan ombak itu. Saat itulah semua luapan emosi tersalurkan seperti menyatu dengan energi pasang surut yang terus memanggilku. Aku menangis, entah berapa lama. Rasanya aneh menjadi manusia sepertiku, berjalan jauh tanpa tujuan, hanya untuk menangis.

“Kenapa kamu tidak punya lengan? Aku ingin dipeluk”

         Aku selalu bertanya, apa itu hidup, untuk apa aku hidup. Apakah selama ini aku memang hidup? Mereka bilang kaum seperti kami disebut makhluk hidup dan kamu (ombak) tidak hidup. Bisakah aku membuktikannya?
 
         Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, aku hanya ingin mengakhiri kesia-siaan. Kulangkahkan kaki, mendekatkan tubuhku menuju ombak, suaranya semakin menderu. Perlahan kurasakan air laut itu. Kini seluruh tubuhku sudah menyatu dengan ombak, dingin rasanya. Dadaku juga sesak sekali. Apa yang terjadi? Aku hanya ingin membuktikan mana yang disebut hidup. Saat aku bernapas atau justru saat berhenti bernapas.


         Saat aku membuka mata, ada yang berbeda. Aku merasa lebih ringan. Bahkan sekarang tiba-tiba aku sudah berada di depan rumahku. Ramai sekali, dan orang berbondong-bondong datang dengan ekspresi yang beragam. Aku melihat orang tuaku, adikku, dan teman-temanku di sana, mereka terlihat biasa saja. Aku tidak mengharapkan kesedihan dari mereka, aku tidak hilang, aku tidak pergi, aku hanya berubah menjadi semacam energi atau apa sih ini namanya. Aku sepertinya menjadi sesuatu yang tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan, aku hanya akan menjadi bentuk lain. Tapi aku juga tidak tahu pasti, itu hanya persepsi sesatku, sampai saat ini aku masih menunggu malaikat atau apapun itu untuk datang menemuiku dan memberi penjelasan.

          Aku memandangi mereka, “orang-orang yang sudah melukaiku” aku sungguh tidak mengharapkan air mata mereka untukku, untuk kepergianku. Hei lihat! Aku di sana terbaring pucat? Tidakkah kalian sedih?

         Sudah malam, aku bergantian untuk mendatangi orang tuaku, lalu teman-temanku. Dan tak satupun dari mereka menangis karena kematianku. Namun aku terkejut, saat mereka akan tertidur, mereka mematikan lampu. Di saat gelap itu, aku melihat kepala mereka bersinar, dan anehnya ada gambarku, ada aku, sedang bergerak-gerak di kepala mereka.


          Aku menangis, entah mengapa setelah berubah bentuk, aku masih bisa menangis karena mereka. Lalu ada sesuatu yang menyilaukan mata mendekat ke arahku, mungkin itu sesuatu yang akan menjemputku untuk menjelaskan posisiku sebagai makhluk apa. Aku mengusap sisa air mata, dan menuju ke arah cahaya itu. Tidak ada suara apapaun, hanya gumpalan cahaya putih yang tak berbentuk. Aku memiringkan kepala, mengerutkan dahi, aku bingung. Apa yang akan terjadi?

Traaaakkkk!!!

Sebuah dadu keluar dari cahaya itu. Aku memungutnya. 

“Apa ini?”

Kraaazzzzzzz!!!

        Cahaya itu mengeluarkan suara memekikan, dan mengeluarkan energi yang membuatku terlempar cukup jauh. Aku langsung bangkit. Dan saat itu juga kesabaranku habis.

“Apa-apaan ini. Tuhan tidak bermain-main dengan dadu!”


“TO BE CONTINUE”




NB: Kisah selanjutnya akan menjelaskan tentang alasan manusia setelah mati diberi dadu. 


Terinspirasi dari komik Dice~

Kamis, 29 Desember 2016

CURHAT BANGSAT


“Kenyataan memang identik dengan hal-hal bangsat”, ujarmu tenang, lalu melihat ke arah kosong, menghirup udara dengan berat. Ada yang berbeda darimu malam ini. Mungkin sedikit berdandan, ada olesan lipstik di bibir, dan kamu juga memakai parfum yang bisa aku rasakan dengan jarak 5 meter. Aku sedikit kaku, karena terbiasa melihatmu berbalut kaos, celana jins  dan rambut dikuncir kuda. 

“Aku akan membuat pengakuan malam ini” katamu, sedikit senyum. Seolah sebagai pria sekaligus sahabatmu, aku hanya dianggap cermin yang memantulkan bayangmu sendiri. Menjadi sesuatu yang selalu kamu butuhkan. Aku selalu memakluminya. Di pesan singkat, kamu hanya memintaku untuk menemani ngopi sambil mendengarkanmu bercerita.

Dua gelas kopassus yang menawarkan banyak kafein diantar ke meja. Aku langsung menyeruputnya, meski itu membakar ujung lidah, bangsat! Aku mencoba tenang di depannya. Mungkin saja, malam ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa.

Kopi ini menjadi favorit kami berdua, aku sangat menyukainya karena kafein itu mencoba  menendangku secara dahsyat.  Namun bagimu, kopi di kedai ini menawarkan hal beda bagi setiap pengunjungnya, karena mau menukarkan secangkir kopi pahit bagi setiap cerita getir yang ditawarkan oleh pengunjung. Kamu bangga karena selalu ada cerita getir untuk ditukarkan.

“Detik ini, aku lahir kembali”

“Kamu bereinkarnasi?”

“Bisa dibilang begitu” kamu tersenyum lagi, menyeruput kopi itu yang sebenarnya tinggal ampas saja, “aku.. sudah mengakhiri semua” kamu mulai menarik napas secara berantakan. Memandangi sawah yang sebenarnya hanya menampakan siluet hitam. Kedai ini cukup bising, berada tepat di samping persawahan, tapi kamu menyukainya, “Karena sunyi akan melahirkan luka” Begitu katamu saat kedua kalinya kita ke tempat ini. 

Aku memandangi matanya, menunggu kalimat selanjutnya.

“Berakhir! Bertahun-tahun aku ingin tahu perasaannya. Dia menolakku dan aku cukup tahu diri untuk mundur. Yeey aku berhenti, cheers!” kamu sentuhkan gelasmu ke gelasku yang menimbulkan bunyi “ting” dan kamu menghabiskan semua ampas kopi yang tersisa ke tenggorokan. Aku rasa itu lebih menyesakkan dibanding kenyatan bahwa kamu harus berhenti berharap.

Ada perasaan lega, dan jantungku cukup berkontraksi dengan cepat saat kamu mengikrarkan kebebasan. Aku cukup diam dan kamu bertindak memaklumi dengan cara meremas tanganku. Saat brengsek itulah neurotransmitter mulai bekerja dengan maksimal. Aku merinding, memandangi matamu dengan sabar. Mungkin untuk sebongkah sentuhan fisik inilah, kamu mau berdandan untuk bertemu denganku. Dalam beberapa menit aku tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya. Kamu menunduk, memandangi meja kosong, seolah di tempat itulah berkumpulnya kenanganmu bersamanya. Mimikmu mulai berkata-kata, gesturmu dipenuhi kegelisahan karenanya, dan air matamu jatuh hanya untuknya. Lambat laun meja kosong itu menjadi tempat paling meneduhkan untukmu memadu kenangan. Dan tanpa disadari kamu hidup bersama meja kosong itu. Kamu sendirian di tempat itu. 

Ceritamu selalu sama saja selama bertahun-tahun, tentang satu objek yang sejujurnya aku benci untuk mendengarnya. Kamu sudah buta, kamu dibuat luka, kamu dibuat bahagia, kadang kamu merindunya. Tapi seringnya kamu dibuat nelangsa. Tapi bodohnya kamu menikmati gejolak sialan itu. Aku mulai gila melihatnya.

Aku mengusap lenganku dengan tangan, membuat panas untuk tubuhku sendiri. Udara mulai dingin seiring dengan berjalannya detik menuju dini hari. Tiupan angin dari arah sawah mulai membuatku meriang. Aku lupa membawa jaket, karena saat menerima pesan darimu aku langsung menyalakan motor dan menuju tempatmu tanpa memikirkan kesehatanku yang harus menempuh perjalanan satu jam. Aku hanya ingin berada di dekatmu segera, saat kamu membutuhkanku sebagai teman ngopi dan kamu bercerita tentang lelaki bangsat itu.

“Mungkin saat ini, aku berada dalam titik nadir kehidupan. Aku merasa lelah sampai tulang. Aku sudah menyerah dengannya. Kamu tahu? Aku hanya butuh seseorang yang mau menempuh perjalanan satu jam hanya untuk menemaniku ngopi dan bercerita”

Kamu mengalihkan pandangan ke arah lain, menolak untuk memandangku. Aku tahu kamu sedang menahan untuk menangis. Kamu menelan ludah dengan berat. Entah sakit dalam bentuk apa yang sedang kamu konstruksikan. 

Dengan sedikit kehati-hatian tanganku memeluk tangannya, aku juga tidak bisa mengatur perasaan saat itu. Dan saat itulah malam tanpa akhir kita resmi dimulai. Dan kamu secara perlahan meneteskan air mata yang susah payah kamu bendung. Sedangkan aku susah payah untuk tidak melepas tanganmu sambil menepuk satu dua kali.

“Ini.. tangisan terakhir” ucapmu terbata, berusaha tampil biasa saja seperti saat menonton film yang tokoh utamanya harus berakhir mengenaskan. Kamu lalu tertawa. Getir. Aku tahu kamu ingin menangis sampai sesenggukan, tapi kamu hanya menarik ingus cepat yang menandakan kalau, “aku sudah tidak apa-apa”

“Orang yang sedang sibuk-sibuknya, saat hujan, perjalanan jauh, mau datang.. menemaniku” dengan berat kamu bicara.

Lalu aku mengingat saat itu. Hujan deras dan aku sedang sibuk dengan revisian bab 3. Tiupan air hujan mengetuk-ngetuk jendela kosku seperti alarm yang mengganggu aktifitas sakral tidurku di hari minggu. Dering pesan bunyi sekitar pukul 5 sore, aku langsung menutup laptopku, memanaskan motor. Ada seseorang yang menginginkanku berada di dekatnya. Kamu tahu aku pasti datang, sebagai angin yang akan menghembuskan segala hal yang kamu inginkan.

Aku menuju ke tempat yang ia alamatkan, sebuah perpus. Aku melepaskan jaketku yang basah kuyup. Meninggalkan kaos yang sedikit basah. Bodohnya aku tidak pakai mantel karena tidak mau rugi membuang waktu mencari benda konyol itu yang entah berada di mana. Aku hanya ingin segera berada di dekatnya. Itu saja.

Setelah tahu alasanmu mengajakku ke tempat ini, aku menggeleng heran. Tidak ada yang istimewa memang, dari menunjukan buku-buku kuno, dan aku hanya disuruh mencium baunya. Katamu itu nikmat luar biasa, dan aku harus merasakannya mumpung masih punya kesempatan. Brengsek! Kekonyolan macam apa ini. Tapi entah mengapa aku memang menikmatinya. Entah mengapa bisa demikian.

“Sekarang kamu mau gimana?” aku bertanya dengan pelan, seolah sudah terprogram dengan sendirinya.

Kamu tetap diam dengan pandangan kosong. Memandangi satu titik yang tidak bisa aku jangkau. Sampai kapanpun kamu akan tetap begitu. Kamu tidak sadar. Kamu selalu sendirian di ranah itu. 

“Menikmati suasana ini sampai pagi. Dan kita cukup berdiam-diaman saja”

Ada persinggahan di depanmu. Tapi kamu terus menanti. Kamu tetap menunggu. Tempat yang kosong.

Senin, 08 Februari 2016

SURAT TERTUTUP UNTUK JON SNOW




Hai, Jon! Aku tahu kabarmu tidak baik karena terakhir liat, kamu udah mati dikhianati oleh The Crows yang tak lain adalah sekutumu sendiri. Gimana Jon rasanya di tusuk dari depan? Selain sakit, juga berdarah kan?

Tapi aku punya teori sendiri Jon yang belum disepakati oleh pakar konspirasi fundamentalis yang suka baper kalau liat Jokowi followernya banyak, mereka berdalil kalau blio beli followers. Asal kamu tahu Jon meski itu benar kamu tidak ada sangkut pautnya dengan itu semua. Aku hanya ingin membahas saja, tiba-tiba insting politik virtual-enthusiast membara, maklum sedang PMS. Segala sesuatu yang dipikirkan wanita sedang PMS adalah pembenaran hakiki, siapa yang tidak sepaham akan dilibas tuntas!

Oke sori, Jon. Aku jadi ngelantur kemana-mana. Gini, aku tidak percaya kalau kamu dibuat mati oleh om Martin. Aku tidak percaya kalau darah merah yang berceceran kemana-mana di atas salju putih itu adalah darahmu, Jon! Mungkinkah itu hanyala jus tomat yang kebetulan kamu minum sebelum hidangan makan malam?

Ah apalah aku ini hanyala wanita dhaif yang dikit-dikit khawatir dengan kesehatanmu, Jon.

Aku boleh menebak-nebak tentang nasibmu di season 6 kan, Jon?
Aku tidak akan percaya kamu mati begitu saja tanpa selamat tinggal meski memang begitu seharusnya 'untuk apa mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang yang tidak bisa hidup bersama' ah maaf Jon aku memang suka baper.

Mungkin saja kamu itu dihidupkan lagi oleh Melisandre si penyihir Apatis yang Fundamentalis,  baginya segala sesuatu menjadi hak pembenaran untuk pemujaan kepada Dewa Api. Maklum Jon dia itu juga perempuan dan suka PMS.

Atau Mungkinkah kamu itu sang Azor Ahoi? Pangeran yang dijanjikan itu, bukan si Stannis Baratheon meski blio udah mengorbankan anak dan sepupunya mati dengan kejam demi tahta yang tidak bisa dimilikinya? Aku tahu, hati Stannis pasti kecewa, blio mengira dialah pangeran yang dijanjikan itu, eh ternyata bukan dan palah mati juga. Apapun rasa kecewa itu, aku juga pernah merasakannya, Mz.

Yang ke-dua, Jon! Mungkinkah mayatmu dibuang ke luar the wild, yaitu gerbang yang memisahkan westeros? Kalau begitu kamu akan menjadi White Walker? Aku tidak mau itu terjadi, Jon! Aku liat The king walker sepertinya tertarik denganmu. Kamu ingatkan saat kalian meminta bantuan the wildings untuk bergabung, eh ternyata justru diserang oleh ribuan 'the white walkers' Astaga! itu ngeri, Jon.
 (Ini  wajah the king walker di episode Hardhome, at all ini paling keren di season 5)

Aku yakin Jon kamu itu adalah analogi dari 'A song of ice and fire' yang berarti kamu itu bukanlah anak haramnya Ned Stark tapi Anak dari Lyanna Stark dengan Rhaegar Targayen dari hubungan gelap yang berarti namamu harusnya 'Jon Starkgayen' perpaduan antara dua klan tersebut.

Kamu memiliki darah Raja, Kamu pantas menduduki 'The Iron Thrones' meski pertempuran akan lebih seru kalau kamu jadi The walkers untuk melawan manusia yang dengan jelas pemimpinnya adalah Daenerys Targayen dengan tiga naganya. 
Tapi aku tidak mau kamu memiliki darah dingin, Jon. Cukup gebetanku saja.

MAGIC MINUTE Chapter IV ''Satu Kisah yang Tidak Harus Dipercaya''

CHAPTER IV
‘’Satu Kisah yang Tidak Harus Dipercaya’’

Betapa indahnya senja itu merunduk dengan lesu, seperti dirujami rindu. Ormuzd yang berperan sebagai dewa terang tak bisa berbuat apa-apa kecuali menyatakan kekalahannya kepada Ahriman. Gelap mulai menyelimuti langit-langit sore. Burung-burung mulai bergerombol berterbangan kembali ke sarang dengan campuran riuk angin-angin yang tenang. Aku menyeruput kopi, masih hangat. Sedang lelaki di sebelahku masih khusyuk memandang palet langit-langit Azura yang mulai pudar jingganya. Sungguh tampan ketika muka mulus itu terpampar sinar kekuningan, ingin aku.. sssst jangan diteruskan nanti ada anak kecil baca. Bahaya!
Inilah kita sekarang, bukan hanya kumpulan subjek yang beratasnakaman ‘’aku dan kamu ’’ tapi sudah menjadi satu kesatuan yang berbentuk ‘’kita’’. Aku tidak sungkan lagi untuk menuliskannya. Karena dalam aku, sudah ada kamu, begitu juga sebaliknya. Aku memegang tangannya yang hangat, tidak lebih hangat dari kopi yang baru saja aku seruput itu. Aku mencium tangan itu dengan lembut. Sedang senja sudah tidak menampakan apa-apa lagi. Hanya ada lilin dihadapan kita sebagai pemanis romansa. Dan aku bisa melakukan apa saja dengannya tanpa sungkan. Ah maaf, khusus kisah ini memang tidak diperuntukan dibaca oleh anak-anak. Eh tunggu.. sebentar! Kenapa di kisah ini aku dibuat menjadi pihak yang agresif? Ah tidak masalah, jika aku memang mau he..he.
Beginilah akhir dari kebahagianku. Pada akhirnnya Tuhan menyerah dengan rengekan doa-doaku. Entah dengan suka atau duka, Ia sudi mempersatukan dua orang sinting ini. Aku tidak ingin menjadi waras jika itu indikator untukku berpisah dengannya. Lagian apa itu waras juga masih diperdebatkan oleh Hegel dan kawan-kawannya.
Keluarga mungil yang bahagia, dengan rumah kecil yang sederhana. Taman luas dengan berbagai tanaman bunga. Ada perpustakaan dan ruang santai untukku menghabiskan berajam-jam di sana. Aku bilang padanya ‘’aku gak mau rumah besar, nanti capek bersih-bersihnya’’ dia cuma senyum meng-iyakan. Aku juga bilang ‘’aku mau ada danau di belakang rumah biar bisa duduk berdua, ngobrol santai sambil melihat senja’’ dia senyum lagi-lagi meng-iyakan. Kamu tahu betapa bahagianya aku memiliki dia. Pegang dadaku deh, pelan saja tapi. Denger nggak? Kayak ada suara air mendidih. Panas dan meletup-letup.
‘’Kasian Socrates, di saat anak-anak jaman sekarang lagi suka main game, anime dan sosmed, dia di jaman dulu justru sibuk murung sambil ngorek-ngorek tanah’’ ucapku santai sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Inilah keseharian kita, ketika selesai berutinitas. Membicarakan hal-hal tidak penting diantara hal paling tidak penting lainnya. Tujuannya adalah untuk menjaga hal-hal penting agar tetap eksis. Itu kutipannya Wisnu Nugroho di bio twitternya.
‘’Murung juga bagian dari proses berfikir. Aku berfikir maka aku ada. Mungkin dengan murung itulah, dia merasa menjadi ada’’
‘’Haha cogito ergo sum’’
‘’Mungkin Thomas Alva Edison juga demikian ketika menciptakan lampu. Dia berada dalam ranah kosong, kegelapan, yang menurut Plotinus gelap itu tidak ada yang ada hanya kekurangan cahaya’’ dia henti sejenak, menyeruput kopi sambil memandang genangan air danau yang bersinar akibat pantulan cahaya bulan. Aku mengamatinya.
‘’Lalu?’’
‘’Munculah lampu’’
‘’Udah?’’
‘’Hmm’’
‘’Sungguh pernyataan yang cerdas, inspiring!’’
Hahaha.. kita tertawa dengan kebegoan masing-masing.
‘’Emilia Clark pernah gak sih kesleo lehernya pas lagi ngulet?’’
BRUZZZZZZZz!!! Terdenger dentuman seperti roket berkekuatan massiv meledak di samping rumah kami. Aku terperanjak mencari asal-muasal suara itu. Dia masih duduk santai di kursinya nyomot gorengan lalu memasukan cabe ke mulutnya. Keadaan menegangkan dengan sentuhan dark ini seperti perpaduan antara Romantisme Jerman dengan Eksistensialisme Klasik. Beberapa makhluk aneh muncul, bentuknya seperti lobster yang bisa berdiri dan memiliki dua kaki. Mereka mengerubungi kami. Baginya kami ini hanyala sepotong risoles yang jatuh dilantai lalu dikerumi laler-laler, dan merekalah lalernya.
‘’Siapa kalian?’’ ucapku tegang, aku memegang lengan suamiku, menikmati ketegangan Fasisme Mussolini.
‘’Apa kalian ini Homarus?’’ ucap suamiku sok tahu.
‘’Kamu benar, kamu tahu namaku, kalau begitu aku tidak jadi menyerang kalian, aku akan kembali ke dimensiku. Selamat tinggal’’ ucap monster itu gembira.
‘’Heh jangan sontoloyo kamu, bukannya kalian itu hanyala makhluk Tuhan yang salah rupa!’’ ucapku sok tahu juga.
‘’Biadab!’’ ucap monster itu yang tahu kalau dia begitu.
Monster-monster yang berjumlah puluhan itu mulai membentuk lingkaran merubungi kami berdua yang berada di tengah-tengahnya. Mereka mengelurkan semburan api dari mulutnya. Tuhan mungkin sedang sibuk sehingga lupa bahwa Naga yang harusnya berperan seperti itu. Ah suka-suka Tuhan lah.
CRAAAAZZZZ! BRUZZZZZ! PRAAAAAKKK! PREKETEKKKK! KREK! KREK!
Suara leher suamiku yang diplintir ke kanan dan ke kiri, dia sudah berancang-ancang untuk melindungiku.
‘’Palu Thor!!!’’ tangan kanannya menengadah ke langit.
JDAAAARRR! Suara petir bergemuruh. Lalu sesuatu melucut seperti kilatan dengan kecepatan cahaya menuju ke tangan suamiku. Itu palunya Thor. Huahahahaha tawanya keras, bahagia dia.
‘’Kalian monster salah rupa tidak akan bisa dengan sontoloyo menginvasi bumi!’’
‘’Rasakan ini, mahluk berbau manusia!’’ wuzzzzz semburan api muncul dari mulutnya, namun dengan sigap suamiku menghalau dengan palu Thor.
JDARRRRRRR! Suara petir kedua datang lebih gemuruh, seseorang meluncur dari petir itu, ia bermuka garang dengan baju besinya.
‘’Siapa kamu?’’ ucapku deg-degan.
‘’Aku Thor, kembalikan paluku!’’

HAHAHA! Aku tertawa geli, menutup muka saking malunya membayangkan hal-hal ajaib seperti itu.
‘’Kamu autis apa gimana sih dari tadi ketawa-ketawa sendiri ga mau bagi”
‘’Cinta bisa saja autis, tapi itu yang buat kamu beda’’
‘’Monyong!’’
Aku dan temanku sedang duduk di pojok salah satu rumah makan langganan. Aku suka pojok, bukan berarti suka dipojokkan atau memojokkan sesuatu, suka aja, nggak ada alasan apapun.
Masih pertengahan November, dan lagu surya kembara mengiringi sore itu. Aku tidak lagi rindu dengan siapapun. Aku hanya ingin mendengar lagu itu di bulan hujan, dan kebetulan ada kata ‘merindu’ di akhir liriknya. Epik!
Seperti biasa, aku kesepian yang termanipulasi menjadi kurang kerjaan. Ada segelas susu serta beberapa biskuit untuk menemani rasa brengsek itu. Aku membuka sosmed dan menemukan satu pesan yang ketika aku buka, lagu surya kembara telah usai dengan kata ‘merindu-nya’ yang entah bagaimana aku sadar, apa yang aku rindukan telah hadir dalam bentuk virtual.
‘’Aku minggu kemarin ke Jogja. Niatnya pengen mampir, eh kamu di sms gak masuk’’
Itu yang tertulis di pesan, aku biasa-biasa aja awalnya ketika membaca. Namun, lagu The Smiths- Heaven knows I’m miserable now bersuara lain, seolah-olah menyadarkan kalau aku sedang dipecundangi takdir. Mungkin Tuhan belum menakdirkan aku dan dia untuk bertemu dalam realita fisik yang utuh, karena saat itu aku sedang jerawatan. Tapi itu bukan prioritas! Aku tidak ada masalah dengan tampilan mukaku saat itu. Aku sudah cantik dalam keadaan apapun, dalam indikatorku sendiri. Tapi Tuhan mana tahu itu? Aku tidak harus dipertemukan dengannya dalam keadaan cantik kan? Intinya, aku mengutuk takdir dan segala kebodohanku untuk tak acuh dengan ponsel sendiri yang lebih memilih mengaktifkan paket kuota.
‘’Hah ngapain? Kapan ke Jogja lagi?’’ aku seolah-olah terkejut, entah dia sadar atau tidak, aku memang terkejut dengan kebodohan diri sendiri.
Mungkin kesannya aku sedikit memohon untuk dia mendatangiku saat ke Jogja lagi. Dia memang akan datang untuk urusan pekerjaan, sekitar akhir minggu ini. Dan selama satu minggu itu, setiap mau mandi aku jadi suka ngacak-ngacak air di bak mandi. Itu hanya bentuk eskapis saat aku marah dengan diri sendiri.
Satu minggu berlalu. Dia tidak menghubungi. Persetan dengan gengsi! Untuk kali ini, aku merasa tidak masalah ketika harus menghubungimu lebih dulu untuk menanyakan ‘’kamu jadi datang?’’ Aku ingin menemuinya. Rasa haus ingin bertemu, entah mengapa lebih mengeringkan dari tanah yang menahun tak dirundungi hujan. Begitulah analogi yang dikatakan pujangga sok romantik itu.
Desiran karbondioksida semakin memenuhi ruang 2x4 yang aku tinggali selama beberapa waktu ini. Tak ada bunyi lain selain ‘’kruyuk..kruyuk’’ dari perutku yang aku abaikan. Sampai saat ini aku tidak tahu, mengapa seseorang bisa menyayangi suatu hal, melebihi rasa lapar dari perutnya sendiri. Mendadak aku lelah untuk menjelaskan jenis lapar secara fundamentalis. Yang aku tahu, kamu memang tidak datang.
Kedatanganmu bagiku hanyalah menstruasi yang tidak tepat waktu. Adakalanya hormon menjadi penghambat. Jika tidak ada sel sperma yang membuahi, dinding rahim itu akan runtuh. Dan kamu akan datang. Aku yakin itu.
Aku menyayangimu, melebihi dari siapapun. Meskipun aku menyayangimu, aku ingin sekali marah. Aku ingin meneriakan kekesalan ini dengan siapapun yang ingin mendengar. Kamu tahu? Aku ingin kamu ada. Meski kamu selalu ada. Selalu hadir dalam realita fisik yang tidak utuh. Aku ingin kamu benar-benar ada, merasakan hangat saat dua tangan saling berjabat. Aku ingin kamu ada di sini, menemaniku. Membicarakan rumus mekanika kuantum atau tentang bagaimana ikan paus melahirkan tanpa ia harus mengerang kesakitan. Aku ingin membicarakan apapun yang tidak penting denganmu. Berdebat tentang teori-teori bullshit yang tidak akan menghadirkan perdamaian dunia. Kendati begitu, aku akan merasa nyaman.
‘’Aku belum ke Jogja, kemungkinan akhir bulan ini’’
Mendapat pesan itu aku semakin mengutuk rasa brengsek ini. Akulah oportunis yang menginginkanmu datang. Entah bagaimana bisa, kata ‘’kemungkinan’’ bagiku hanyalah fana, ia hadir sebagai pelengkap kalimat yang menyatakan bahwa aku terlalu banyak berkhayal yang menginginkanmu ada.
Akhir bulan sudah lewat, bahkan akhir tahunpun datang. Aku sudah menunggumu selama itu dengan perasaan dinamis yang bergerak monoton. Aku ingin percaya dengan segala kemungkinanmu, sungguh aku ingin begitu. Tapi tidak dengan takdir. Ia berencana lain yang tidak sependapat denganku. Dialah yang apatis selama ini mengatur urusanku.
Perkara kehadiran, entah mengapa menjadi hal yang rumit. Kamu seperti rasa kebelet pipis yang jadwal hadirnya tidak bisa diprediksi. Bagimu mungkin ini sesuatu yang sepele. Karena masing-masing rasa kita berbeda. Kamu tidak pernah tahu, aku menunggumu kesakitan yang selalu percaya dengan kata ‘kemungkinanmu’ untuk hadir. Tapi kamu di sana mungkin saja sedang asik main Clash of Clans yang tidak pernah aku mengerti cara mainnya.
Aku membiarkan dua bulan terbuang dengan penungguan sia-sia. Aku meronta kesal dengan jalan hidupku sendiri. Kalau Tuhan baik, apa boleh aku meminjam catatan-Nya untuk mengintip sedikit tentang pertemuanku dengan makhluk sinting itu? Adakah tertulis di sana? Jika memang ada, aku pasti bahagia.
Siang itu mendung, sudah Januari. Tapi aku tidak menginginkan apapun dari bulan kelahiranku itu. Banyak suara, tapi kali ini aku tidak merasa terganggu. Aku membiarkannya masuk ke telinga dan suatu saat aku pasti akan mengingatnya. Bahwa aku sedang berada di candi, untuk meluapkan perasaan. Aku menjadikan keinginan bertemu dan segala kekesalan sebagai rahasia untukku nikmati sendiri. Akan aku simpan rapat-rapat di tempat ini. Aku berkeliling candi mencari celah lubang untukku bisa berbisik di sana.
Aku meletakkan kepalaku di puing. Merabanya dengan tanganku untuk meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja mendengar segala resah. Dan di lubang itulah aku bercerita segalanya. Tentang kisah dua orang sinting yang tidak harus dipercaya.
Aku hanya ingin bertemu denganmu. Entah mengapa memang harus.

TO BE CONTINUE~

 Baca cerpen sebelumnya, here--> S.H.M.I.L.Y

Sabtu, 23 Januari 2016

TRADISI JAJAN PASAR RIWAYATMU KINI

FEATURE
Metode Penelitian Komunikasi (kualitatif)

“TRADISI JAJAN PASAR RIWAYATMU KINI”

Ditulis oleh: Wiwin Winarni

Modernisasi menjadi lakon utama dalam mereduksi budaya yang semakin hilang jati dirinya. Keunikan tradisi jawa  ‘’jajan pasar’’ yang dahulu saat saya masih kecil, sekitar awal tahun 2000-an menjadi piral utama dalam perayaan momen sakral sudah tidak nampak lagi. Proses pragmatis yang diafiliasikan ke ranah modern menjadikan tradisi di masa kecilku itu lambat laun menghilang menjadi artefak budaya yang digantikan ke hal-hal instan.
Anak-anak di masaku dulu sangat bereuforia ketika ada tetangga merayakan momen penting sebagai ungkapan rasa syukur dengan menggunakan tradisi tersebut. Berbagai jajanan pasar yang terdiri dari gethuk, pilus, ciwel, lanthing, onde-onde, dan pecel tersaji dalam nampan berbentuk bulat yang diletakan di atas bokor berisi air dan uang siap diperebutkan oleh sekawanan anak-anak maupun orang dewasa.
Bagiku momen itu menjadi estetika yang sayang untuk dilewatkan ketika saling tarik-menarik hanya untuk mendapat uang di bokor tersebut. Bagi anak-anak seusia kami mendapat uang secara cuma-cuma selain sebagai tambahan uang jajan juga menjadi eskapis tersendiri untuk tetap menikmati kebahagiaan dengan sentuhan budaya.
Apa yang nampak sekarang sebagai apresiasi perayaan syukur sudah berbanding terbalik, jajan pasar sudah menjadi riwayat yang entah kapan akan kembali menjadi rutinitas budaya di desaku itu, Desa Karangjati yang berada di sudut Sampang, Kota Cilacap. Banyak arah lalu lintas menjadi portal masuknya modernisasi yang melunturkan tradisi jajan pasar. Sekarang yang nampak hanyalah pragmatisasi dengan sekedar memberikan uang kepada anak-anak atau apresiasi syukur dengan acara yasinan biasa dengan polesan religus tanpa adanya sentuhan budaya jajan pasar yang menjadi khas desa kami.
Asal-usul lahirnya tradisi jajan pasar adalah dari budaya jawa itu sendiri yang dibawa oleh para Sunan saat menyebarkan agama Islam. Namun, jajan pasar yang saya kenal sudah dimodifikasi sesuai dengan standar daerah kami. Implikasi dari tradisi ini dikembangkan sesuai keadaan masyarakat yang berada di daerah pertengahan antara jawa kekeratonan dan budaya ngapak. Lambat laun tradisi ini diakui dan selalu menjadi peron utama saat acara syukuran bagi masyarakat menengah hingga atas.
Tradisi jajan pasar yang dikenal di daerah saya bukan artifisial dari jajanan tradisional yang dijual di pasar namun lebih ke persoalan budaya dan nilai-nilai spiritualisme tentang bagaimana orang-orang daerah kami berucap syukur kepada Tuhan atas segala kelimpahan dan kebahagiaan menggunakan ritual religius. Ritual dari jajan pasar adalah memadukan berbagai jajanan tradisonal dengan sesajen yang terdiri dari kembang-kembangan serta bubur nasi putih dan merah, bubur nasi merah itu sendiri adalah nasi yang dicampur dengan gula jawa.
Ritual religius berarti instrumen dari ritual tersebut dipadukan dengan sentuhan religius. Berbagai jajanan pasar dan sesajen diletakan di nampan bulat di atas ember yang berisi air serta uang recehan. Anak-anak maupun orang dewasa berkumpul mengelilingi dan pemimpin doa menjadi maskot utama dalam pergelatan persembahan rasa syukur melalui panjatan doa-doa bernuansa islami.
Ibu Katiyem (85) adalah salah satu sesepuh dari desa saya yang masih rutin menggunakan tradisi jajan pasar. Baginya tradisi ini merupakan cara yang mudah untuk ucapan rasa syukur yang memiliki arti sepasar atau merata. Ketika sembuh dari sakit ia juga kerap menggunakan tradisi ini.
Jajan pasar juga memiliki makna simbolik yang bervariasi selain interpretasi dari ucapan rasa syukur juga digunakan sebagai keba (tujuh bulanan). Namun, ada sedikit berbeda, jajan pasar untuk keba biasanya ada belut yang di letakan di bokor beserta dengan uang recehan. Belut tersebut bersimbolisasi untuk kelancaran saat proses lahiran.
Masyarakat jaman dahulu percaya dengan hal-hal seperti itu, meski saat ini jarang sekali ditemukan perayaan keba menggunakan jajan pasar. Biasanya mereka hanya syukuran/slametan di rumah dengan mengundang warga, sekedar proses religius tanpa adaya tradisi budaya.
Selain belut yang memiliki pesan simbolik dalam tradisi ini, bubur putih dan merah juga memiliki arti tersendiri. Bubur putih bermakna untuk saudara/ sedulur muda sedangkan merah untuk sedulur tua, yang berimplementasi pada keterikatan antar saudara. Segala hal yang berkaitan dengan jajan pasar memiliki simbolisasi yang dipercaya secara turun temurun. Bagi yang percaya akan tetap melestarikan tradisi tersebut, tidak peduli meski arus modernisasi mengakibatkan asimilasi yang akan mereduksi budaya aslinya. Orang-orang sepuh inilah yang patut diberi apresiasi sebagai aparat tradisi dalam mempertahankan identitas budaya.
Jajan pasar sudah dikenal sejak lama. Tidak diberi patokan siapa saja yang melakukan tradisi ini. Baik kalangan menengah bawah maupun atas diperbolehkan, asal berasal dari Jawa. Anak-anak adalah subjek utama yang diundang dalam tradisi ini karena euforia mereka sangat ramai dan diharapkan kesenangan mereka akan membawa keberkahan.
Saat masa kanak-kanak dahulu, saya selalu mengikuti tradisi ini bersama teman sebaya. Menjelajah rumah ke rumah untuk mengundang orang-orang. Lebih banyak yang mengikuti justru makin mengasyikan.
Saya selalu mengenang saat perebutan uang di dalam bokor. Biasanya saya selalu menjadi pihak yang mendapat uang paling sedikit dan baju yang paling banyak mendapat cipratan air. Inilah puncak kesenangan mengikuti tradisi ini. Ada beberapa orang yang berbuat jahil, saat anak-anak berebut uang receh di bokor, ia lantas mencipratkan air ke sana ke mari sehingga semua yang berada di situ basah kuyup dan tawapun lepas dari mulut kami masing-masing.
Dalam tradisi Jajan Pasar juga akan mengundang pemimpin doa untuk melafalkan berbagai ayat serta panjatan doa yang ingin dikabulkan oleh si peminta doa/yang melaksanakan Jajan Pasar. Pemimpin doa tidak harus dari kalangan Kyai, masyarakat awam juga diperbolehkan asal ia lelaki, sudah aqil baliq, dan hafal doa-doa. Biasanya isi doa tersebut adalah panjatan-panjatan untuk sesuatu yang ingin dicapai atau sesuatu yang sudah disyukuri.
Menurut Ibu Katiyem tradisi jajan pasar masih tetap ada dan tidak akan bisa ditinggalkan jika kalangan muda mau menjadi pionir untuk melestarikan budaya leluhur. Di era ini, hal-hal konservatif mulai terlihat kuno dan tidak peka terhadap perkembangan jaman, sehingga kaum muda tidak memiliki impresi untuk menggunakan tradisi ini sebagai apresiasi hari-hari penting dan lebih memilih sesuatu yang bersifat pragmatis. Hal ini juga menjadi salah satu faktor mengapa tradisi jajan pasar mulai jarang terlihat sebagai sebuah perayaan.
Ketika pikiran saya sibuk berlogika memikirkan alasan tradisi jajan pasar mulai ditinggalkan. Nalar justru berontak untuk mengkaji ulang tentang mengapa  ritual sesajen justru dipadukan dengan romansa religuitas. Mungkin inilah kehebatan modernisasi mampu membuka cakrawala pemikiran orang-orang awam untuk lebih kritis terhadap relativitas berbudaya atau pergerakan budaya menjadi lebih realis sesuai standar kekinian. Memadukan unsur agama dengan tradisi sesajen bagi mereka yang dogmatis justru memiliki arti yang kontradiksi. Bagi mereka apa yang tidak diterima akal akan ditinggalkan.
Bagi saya tradisi bisa dibilang suatu mesias yang tidak bisa direlasikan namun masih bisa diterima sebagai bagian dari pola hidup yang turun temurun. Ketika tradisi jajan pasar dengan perpaduan sesajen dan religius sangat sulit ditemukan relasi yang masuk akal untuk dipersatukan karena keduanya adalah klan yang berbeda. Namun, jika melihat dari segi nilai-nilai leluhur masih ada beberapa orang sepuh percaya bahwa itulah estetika dari culture-enthusias. Tradisi adalah bagian dari budaya sedangkan agama adalah nilai kepercayaan. Menggabungkan unsur-unsur tersebut berarti meleburkan dogma untuk menghormati Alam serta ke-Tuhanan-nya.

Indonesia Negara berbudaya dengan keanekaragaman yang variatif di setiap daerah. Tradisi jajan pasar adalah kebanggan daerah kami yang patut dilestarikan meski modernisasi kerap meminggirkan. Jika tradisi ini akan tetap ada sampai 50 tahun kedepan dan seterusnya maka budaya ini tidak hanya menjadi artefak yang akan diceritakan melalui dongeng anak-anak saja. Generasi mendatang pun harus bisa merasakan euforia serta kehangatan menghabiskan masa anak-anak dengan tradisi ini. Berbudaya bukan sekedar belajar teori-teori melalui pendidikan atau otodidak dengan kecanggihan teknologi saja tetapi mampu mempraktekan dan menjadi pelopor untuk mengembangkan tradisi leluhur agar tetap berjalan.

Jajan pasar di masa dulu masih bisa dinikmati secara humanis. Namun, seiring  tumbuhnya modernisasi tradisi tersebut justru terlihat humoris.

Narasumber: Ibu Katiyem (85 Tahun)

Rabu, 30 Desember 2015

Coffee Packer #Jogjakarta

Lupakan sejenak kemacetan dan hiruk piruk kota Jogja. Ada banyak hal yang bisa kamu nikmati dan cintai di kota budaya ini. Salah satunya adalah wisata alam yang tenang dan menyejukan, tapi kalau di pantai dan matahari pas di tengah ubun-ubun ya panas sih he..he. Kali ini mau share ekspansi cangkir kesayangan selama di Jogja. Meski belum semua wisata Alam di kunjungi tapi gapapa lah ini sebagian saja dan tentunya tempat-tempat ini akan selalu di kenang.

Pantai Gunung Kidul
















Yang ini beda cangkir~




Kulon Progo








Bonus (di kos saya) haha



Mungkin foto-foto ini yang bakal jadi kenangan tersendiri bagi saya sebagai anak perantauan. Di mana Jogja pernah menyajikan hal-hal indah.
Daaaaan! Masih banyak lagi lokasi-lokasi keren di Jogja dan tempat lainnya yang bakal disinggahi coffee packer!!!

Senin, 23 November 2015

MAGIC MINUTE Chapter III ''S.H.M.I.L.Y''

Chapter III
S.H.M.I.L.Y



‘’Asik deh yang mau wisuda’’
‘’Tapi belum move on juga tuh’’
‘’Taik! Bertahan sampe 7 tahun lebih, stuck di orang yang sama, gak variatif banget hidupmu haha’’
‘’Bisa diem gak kalian?’’

Itulah pernyataan membabi buta yang terkesan menghina dan terkadang cenderung nampar. Kita berempat sedang duduk santai di angkringan dekat kampus negeri. Tempat salah satu temanku menempuh kuliah, dan sialnya dia sudah wisuda duluan. Mereka merupakan sohib terlama yang sudah menemani  dalam suka dan kebanyakan duka selama hampir  11 tahun, sejak kita masih ingusan  pakai seragam putih biru.

Ucapan mereka seperti menari-nari di depan wajah yang mampu menampar dalam sudut kenangan kelam 2 tahun lalu. Saat aku percaya diri untuk memberikan lukisan wajahnya sebagai ungkapan perasaan, saat pertemuan antah berantah yang membuatku bimbang ingin menangis atau tertawa dan saat semua perasaan tidak pernah terbalas. Aku mengingat pesan terakhir yang aku kirimkan padanya, yang masih tertata rapi di ponsel usangku itu.

‘’He?’’
‘’Iya’’
‘’Cuma mau ngucapin selamat hari kemerdekaan RI yang ke-70’’
‘’-_- bisa nggak kasih selamat yang lain, kayak dapat hadiah misal’’
‘’Yaudah, selamat kamu dapat hadiah’’
‘’Mana hadiahnya?’’
‘’Hadiahnya, coba deh kamu keluar rumah terus liat langit. Di situ ada beberapa bintang, kamu boleh ambil satu’’

Sudah berjam-jam pesan itu tidak terbalas, mungkin dia sudah langganan kehabisan pulsa atau memang dia tidak minat untuk membalas karena tidak ada hal penting lagi untuk dibicarakan meski sekedar becandaan seperti biasanya. Lalu aku mengirim pesan lagi.

‘’Kalo aku cinta sama kamu gimana?’’ tanganku gemetar untuk mengirim pesan hina itu dengan mengklik tombol keramat ‘’send’’. Jantung berkontraksi, sekaligus membodohi diri sendiri. Beberapa detik kemudian aku menyunggingkan senyuman geli ‘’message failed’’. Bitch! Sudah kuduga pulsa habis haha.

Pada akhirnya pesan menggelikan itu dibiarkan olehnya, mungkin dia muak. Sampai 2 tahun berjalan pesan itupun tidak pernah ada balasan meski satu aksara. Aku dan dia terpisah tanpa selamat tinggal atau basa-basi romansa seperti orang-orang yang menjalin hubungan, karena memang aku dan dia tidak pernah ada ikatan. Dia sadar aku bukanlah pilihan terbaiknya dan aku juga menyadari bahwa memang menyakitkan saat perasaan yang meluap tidak pernah terbalas meski diketahui bahkan cenderung terabaikan. Lali, akupun memilih untuk menghilang tanpa ingin tahu lagi kabar manusia sinting itu.

Pertemuan bersama tiga temanku cukup mengasyikan, kami berbincang banyak tentang cerita masing-masing pihak yang cukup membuat kontraksi perut meningkat dengan tambahan hormon dophamin yang meluap. Namun saat itu pikiran entah menghilang kemana, ada seseorang di ujung sana yang sedang memungutnya. Aku memutuskan untuk pulang lebih dulu, sekitar pukul 22.00 Waktu Indonesa Baper, aku mampir ke salah satu mini market yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Tempat di mana  aku dan dia pernah berdiri di lantai yang sama dalam satu atap. Aku membeli Root Beer lalu duduk di salah satu bangku, menikmati malam yang semakin memanggil kenangan di masa dulu. Tentang dua orang autis sedang berdiri saling bertukar gulungan keramat. Aku tersenyum memikirkan kekonyolan itu, lalu tiba-tiba dada seperti tersengat sesuatu bermuatan listrik yang mengakibatkan perut mual, ternyata ingatan kembali melintas batas kesadaran kepada masa saat aku ingin mengungkapkan perasaan, yang berujung pada hal memalukan. Matakupun berkaca-kaca, entah kenapa mual semakin terasa saat pikiran kembali sadar bahwa ia yang sepertinya masih di bumi, lupa akan hal-hal biasa yang sudah terjadi antara kami berdua. Aku dan dia menginjak tanah yang sama namun saling lupa untuk bertukar kabar ataupun saling sapa dalam pesan.

Aku membuka sosial media dan menstalking akunnya, bersih dan terawat. Sepertinya dia sangat menyayangi akunnya itu, setiap hari disapu dan dipel dengan pengharum beranda, hmmm. Ketik aku melihat satu foto dengan jumlah 28 like aku hanya bisa diam sambil meneguk root beer dengan ganas, karbon-karbon yang terkandung dalam minuman itu semakin memanaskan suhu tubuh. Lalu aku memilih untuk pulang, dan masih tetap terdiam sepanjang perjalanan pulang.

Kadang pilihan terbaik saat sesak tidak bisa diluapkan hanyalah diam. Berbaring di kasur sambil memandang palet langit atap dengan kesunyian tanpa gema di sudut-sudut ruang. Aku beranjak dari kasur dan menemukan Bapak sedang asyik nonton tivi dangdut kesayangannya. Aku duduk disebelahnya. Terdiam. Cukup lama. Bapak juga diam sambil sesekali tertawa karena banyak adegan konyol dari aktor ga lucu itu.

‘’Pak?’’ sahutku dengan sedikit nada kelu, ada sesuatu yang nyangkut di tenggorokan.
‘’Kok baru pulang, ngapain aja, pergi sama siapa aja kamu?’’ Cecer bapak yang udah menjadi pertanyaan rutinitas. Aku hanya diam. Bapak masih sibuk dengerin banyolan artis-artis gak lucu itu.
‘’Pak’’ ucapku lirih, ngilu di sekitar tenggorokan bereklifase menuju ke sela-sela muka. Rasanya masih sama, dari dulu bawang merah masih terasa pedih di mata.
‘’Pak..’’ ada jeda ‘’kok gak ada yang cinta sama wiwin ya?’’ ucapku sedikit sesenggukan, entah sadar atau tidak itulah pernyataan argumentatif mengilukan yang berhasil keluar dari persembunyian, seolah-olah itu benar dan tidak lagi ingin dibungkam. Rasanya lega, mengetahui realita, bahwa dia di ujung sana, sama sekali tidak pernah cinta, meski sedikit, sedikit saja.
‘’Seseorang gak bisa memilih kepada siapa ia harus jatuh cinta. Kamu juga tidak harus memaksa sesuatu yang gak bisa kamu kendalikan’’ itulah fatwa bapak yang begitu mujarab, dan saat itu pula aku sadar, kesedihan karena jatuh cinta sendirian itu sia-sia. Dan sialnya aku menikmati kesia-siaan itu.

Hari ini tiba juga. Aku duduk di kursi dengan hidangan kue di tangan yang enggan aku santap, meski harumnya memanggil-manggil. Aku mengamati sejenak, ada ruang keikhlasan yang berhasil aku tembus untuk menempatkan dia dan wanitanya bersanding di pelaminan. Aku sadar itulah takdir yang Tuhan kendalikan. Bahwa, aku bukanlah pilihan utama. Bahkan, untuk sekedar alternatif pun hanya metafora. Aku bukanlah apa-apa. Aku dan dia hanyalah konsep gagal yang Tuhan selundupkan untuk sekedar mencicipi kenangan.

‘’Makasih win, udah mau datang’’
‘’Kamu juga harus dateng saat wisudaku nanti ya haha’’

Tanganku dan dia bersalaman, tidak cukup lama. ‘’Dan inilah puncak mencintai seseorang, saat kamu mampu merelakan dia menikah dengan wanita lain yang lebih baik dari kamu’’. Wanita itu memiliki segalanya yang tidak bisa aku berikan ‘’Cinta yang nyata’’ karena selama ini aku sadar, aku hanya pecundang yang mencintainya hanya sebatas narasi platonik sampah, tanpa mampu terucap. Wanita itu yang pantas! Meski aku juga pantas, tapi bagi dia tidak.

Aku duduk di sebelah salah satu temanku yang aku ajak ke pernikahannya, teman priaku yang menemaniku selama di Jogja. Kita seperti dua orang kaku yang duduk dengan begonya melihat dua pasang bahagia. Dia dengan lahap memakan kue coklat yang bagiku tidak enak. Aku beberapakali gelesotan di kursi, ada sesuatu yang.. ah!

‘’He!’’ Teriaku. Beberapa orang melirik heran, temanku mengamini.
Dia yang sedang duduk bersama wanitanya. Memandangku juga. Sedikit heran mungkin, melihat wanita sinting teriak di kerumunan. Aku abaikan mereka, seolah mereka mendoan yang mengambang di penggorengan.

‘’Dengan segenap kemunafikan, aku bahagia melihat kamu menikah sekarang. Meski bukan aku yang berdiri di sana’’ aku berkata-kata tanpa malu. Semua orang memandang dengan geli, sebagian takjub. Temanku masih duduk santai, sudah terbiasa dengan kesintinganku.
‘’Kamu tahu ini mas?’’ aku mengambil gelas berisi es teh, lalu kumasukan gula. Dan kuaduk dengan ganas. Kubiarkan gula itu larut. Dan kutumpahkan ke lantai.
‘’Ini lukaku mas!’’ aku meletakan gelas kosong itu ke salah satu meja yang berada di dekatku dan kutarik tangan temanku yang entah bagaimana dari tadi dia masih asik makan kue cokelat tanpa henti.

Dan pada akhirnya aku berhasil mempermalukan diri sendiri dipernikahan seseorang yang.. entah sulit sekali meneruskan kalimat biadab itu. Dulu, aku mencintaimu secara kekanak-kanakan tapi kali ini aku hanya bisa mencintaimu secara ugal-ugalan. Aku tidak pernah mencintaimu secara pantas. 

Aku terduduk di pinggir jalan. Enggak nangis, meski ingin. Temenku berdiri di sebelahku, masih melahap kue cokelatnya. Brengsek sekali orang ini!

Dia tiba-tiba ada. Dibelakangku. Baru kali ini aku menjadi pihak yang dikejar. Entah dalam scene ini aku harus bahagia atau menangis.

‘’Aku mau mengembalikan ini’’ dia menyerahkan gulungan putih, yang aku tahu ada lukisan wajahnya yang pernah aku kasih dulu, yang katanya di pajang di kamarnya.
Aku terdiam.
‘’Ini’’ dia menyodorkan gulungan keramat itu ke arahku. Dan aku menerimanya.
‘’Kamu bisa miliki ini, enggak harus aku’’
Aku tersenyum entah kenapa. Senyum ikhlas atau senyum palsu yang sewajarnya. Entahlah.. senyum aja pokoknya. Gini nih senyumnya. Lihat ga?
Aku membuka gulungan keramat itu dan menunjukan sebuah tulisan yang terukir kecil di ujung kanan.
‘’S.H.M.I.LY’’
‘’Apa artinya?’’
‘’Udah gak perlu sekarang’’

Dari jauh aku melihat wanitanya berlari ke arah kami. Aku deg-degan. Dan benar saja saat mendekat, dia sedang membawa sebotol air mineral ukuran 1 liter. Aku gak lagi haus waktu itu. Tapi.. sudah bisa ketebak kan apa yang bakal terjadi?

‘’Tadi kamu lari-lari mas, jadi aku bawakan minum. Aku gak mau kamu haus’’

Taik! Ini adegan serius kenapa dibecandain.

Dan Byuuuuurrrrrrr! Ada air entah darimana membasahi mukaku. Bukan air dari botol wanita itu. Apalagi air dari mataku… Hmm. Aku membuka mata dan melihat beberapa teman sedang berdiri di kasurku seolah-olah sedang merubungi mayat.

‘’Happy born day Jomblo formalin!’’

Bangke! Sialan kalian semua. Aku melihat tanggal yang menempel di tembok kamar, tanggal 28 awal tahun. Saat itu pula aku sadar. Aku masih duduk di semester 4.


Nantikan chapter 4 yak hihi. Bye!!!


TO BE CONTINUE